( 1. ) HADIST HADIST
DO’IF DAN PALSU SEPUTAR TAWASSUL DAN TABARRUK
Hadits Pertama
“Bertawassullah kalian dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di
sisi Allah sangat besar.” Atau: “Apabila kalian
meminta kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan kedudukanku, sesungguhnya
kedudukanku di sisi Allah sangat besar.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini dusta dan tidak
terdapat dalam kitab-kitab kaum muslimin yang dijadikan pegangan oleh ahlul
hadits, dan tidak satu pun ulama menyebutkan hadits tersebut, padahal kedudukan
beliau di sisi Allah ta’ala lebih besar dari kemuliaan seluruh nabi dan rasul.”
(Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hal 168. Dan lihat Iqtidlo’
Shiratil Mustaqim (2/783)).
Al’ Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini batil,
tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Hadits ini hanya diriwayatkan oleh
sebagian orang yang bodoh terhadap As Sunnah.” (At Tawassul Anwa’uhu wa
Ahkamuhu hal 127).
Hadits Kedua
“Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau meminta
bantuan dengan berdo’a) kepada ahli kubur” Atau “Minta tolonglah dengan
(perantaraan) ahli kubur.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini adalah dusta dan
diada-adakan atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasar kesepakatan ahli
hadits. Hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari para ulama dan
tidak ditemukan sama sekali dalam kitab-kitab hadits yang terpercaya.” (Majmu’
Fatawaa (11/293)).
Ketika Imam Ibnul Qoyyim menyebutkan beberapa faktor penyebab para
penyembah kubur terjerumus ke dalam kesyirikan, beliau berkata, “Dan di
antaranya adalah hadits-hadits dusta dan bertentangan (dengan ajaran Islam),
yang dipalsukan atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh para penyembah
berhala dan pengagung kubur yang bertentangan dengan agama dan ajaran Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti hadits:
“Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau meminta
bantuan) kepada ahli kubur.”
Dan hadits,
“áæ ÃÍÓä ÃÍÏßã Ùäå ÈÍÌÑ äÝÚå”
“Seandainya kalian berharap dan optimis walaupun terhadap sebuah batu,
maka pasti batu itu akan mampu mendatangkan manfaat kepada kalian.” (Ighatsatul Lahfaan (1/243)).
Hadits Ketiga
Dari Anas bin Malik, Ketika Fatimah bintu Asad bin Hasyim ibunda Ali radhiallahu
‘anhu wafat, maka dia mengajak Usamah bin Zaid, Abu Musa Al Anshari, Umar
bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali liang kubur. Setelah
selesai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dan berbaring di
dalamnya, kemudian beliau berkata:
“Allah adalah Zat yang menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Hidup dan
tidak mati, ampunilah bibiku Fatimah binti Asad. Ajarkanlah padanya hujjahnya
dan luaskanlah tempat tinggalnya yang baru dengan hak nabi-Mu dan hak para nabi
sebelumku, karena sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Penyayang.”
Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini tidak
mengandung targhib (anjuran untuk melakukan suatu amalan yang ditetapkan
syariat) dan tidak pula menjelaskan keutamaan amalan yang telah ditetapkan
dalam syariat. Sesungguhnya hadits ini hanya memberitahukan permasalahan
seputar boleh atau tidak boleh, dan seandainya hadits ini shahih, maka isinya
menetapkan suatu hukum syar’i. Sedangkan kalian (para penyanggah -pent)
menjadikannya sebagai salah satu dalil bolehnya tawassul yang diperselisihkan
ini. Maka apabila kalian telah menerima kedha’ifan hadits ini, maka kalian
tidak boleh berdalil dengannya. Aku tidak bisa membayangkan ada seorang berakal
yang akan mendukung kalian untuk memasukkan hadits ini ke dalam bab targhib dan
tarhib, karena hal ini adalah sikap tidak mau tunduk kepada kebenaran,
mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikemukakan oleh seluruh orang yang
berakal sehat.” (Lihat At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal. 110 dan
Silsilah Ahadits Addha’ifah wal Maudlu’at (1/32) hadits nomor 23. Beliau
telah menjelaskan kelemahan hadits ini dan menjelaskan alasannya dengan rici,
maka merujuklah ke buku tersebut).
Hadits Keempat
Dari Abu Sa’id Al Khudry secara marfu’:
Barang siapa keluar dari rumahnya untuk shalat, kemudian mengucapkan: “Ya
Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang berdo’a
kepada-Mu, dan aku meminta kepada-Mu dengan hak perjalananku ini. Sesungguhnya
aku tidaklah keluar dengan sombong dan angkuh, tidak pula dengan riya’ dan
sum’ah. Aku keluar agar terbebas dari murka-Mu dan untuk mencari ridlo-Mu, maka
aku meminta kepada-Mu untuk membebaskanku dari api neraka dan mengampuni
dosa-dosaku, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali
Engkau.” Maka Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya dan 70000 malaikat akan
memohonkan ampun baginya. (Diriwayatkan oleh Ibnu
Majah (778), Ahmad (3/21) dan hadits ini telah didha’ifkan Al Allamah Al
Albani dalam Silsilah Ahadits Adhdho’ifah (1/34) dan dalam At
Tawassul hal. 99).
Syaikh Fuad Abdul Baqi berkata dalam Az Zawaaid, “Sanad hadits
ini berisi rentetan para perawi yang lemah, yaitu Athiyyah adalah Al Aufi,
Fadlil ibn Mirzaq dan Al Fadl ibnul Muwaffiq. Mereka semua adalah rawi yang
dha’if.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun perkataan, ‘Aku meminta
kepada-Mu dengan hak orang-orang yang meminta kepada-Mu’, diriwayatkan oleh
Ibnu Majah akan tetapi sanad hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.
Sekiranya hadits ini berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
makna hadits ini adalah sesungguhnya hak orang-orang yang berdo’a kepada Allah
adalah Allah kabulkan do’a mereka. Sedangkan hak orang yang beribadah kepada
Allah adalah Allah memberikan pahala padanya. Hak ini Dia tetapkan atas
diri-Nya sebagaimana firman-Nya,
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS. Al Baqarah: 186)
Maka ini adalah permintaan kepada Allah dengan hak yang telah Dia wajibkan
atas diri-Nya, sehingga persis do’a berikut ini:
“Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami
dengan perantaraan rasul-rasul Engkau.” (QS. Ali Imran: 194)
Dan seperti do’a ketiga orang yang berlindung ke goa, ketika mereka
meminta kepada Allah dengan perantara amalan shalih mereka yang Allah telah
berjanji untuk memberi pahala atas amalan tersebut.” (Majmu’ Fatawaa (1/369)).
Al ‘Allamah Al Albani berkata, “Kesimpulannya, sesungguhnya
hadits ini dha’if dari dua jalur periwatannya dan salah satunya lebih berat
kedha’ifannya daripada yang lain. Hadits ini telah didha’ifkan oleh Al
Bushiriy, Al Mundziri dan para pakar hadits. Barangsiapa yang menghasankan
hadits ini, maka sesungguhnya dia salah sangka atau bertasaahul (terlalu
gampang dalam menilai hadits).” (Silsilah Ahadits Adhdha’ifah (1/38)
nomor 24).
Hadits Kelima
Dari Umar ibn Al Khattab secara marfu’:
Ketika Adam melakukan kesalahan, dia berkata: “Wahai Tuhanku, aku memohon
kepada-Mu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuniku. Maka Allah berfirman,
“Wahai Adam, bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal Aku belum
menciptakannya?” Adam berkata, “Wahai Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku
dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan ruh ke dalam diriku, aku mengangkat
kepalaku, maka aku melihat tiang-tiang ‘arsy tertuliskan “Laa ilaaha illallah
Muhammadun rasulullah”, maka aku tahu bahwa Engkau tidak menghubungkan sesuatu
kepada nama-Mu, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai”, kemudian Allah
berfirman, “Aku telah mengampunimu, dan sekiranya bukan karena Muhammad
tidaklah aku menciptakanmu.” (Diriwayatkan oleh Al
Hakim (2/615) (2/3, 32/2) dan Al Hakim berkata: “Shahihul Isnad akan tetapi
Adz Dzahabi menyalahkan beliau dengan perkataannya: Aku berkata, bahkan hadits
ini maudhu’, Abdurrahman sangat lemah, dan Abdullah ibn Muslim Al Fahri tidak
diketahui jati dirinya.”)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Periwayatan Al Hakim terhadap
hadits ini termasuk yang diingkari oleh para ulama, karena sesungguhnya diri
beliau sendiri telah berkata dalam kitab Al Madkhal ilaa Ma’rifatish Shahih
Minas Saqim, “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya beberapa
hadits palsu yang dapat diketahui secara jelas oleh pakar hadits yang
menelitinya bahwa dialah yang membuat hadits-hadits tersebut.” Aku (Ibnu
Taimiyah) katakan, “Dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah perawi dha’if
(lemah) dan banyak melakukan kesalahan sebagaimana kesepakatan mereka (ahli
hadits).” (Qo’idah Jalilah fit Tawassul hal 69).
Al Allamah Al Albani berkata, “Kesimpulannya sesungguhnya hadits
ini Laa Ashla Lahu (tidak berasal) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
tidak salah menghukuminya dengan batil sebagaimana penilaian dua orang Al
Hafizh, Adz Dzahabi dan Al Asqalani sebagaimana telah dinukil dari keduanya.”
(Silsilah Ahadits Addha’ifah 1/40).
Hadits Keenam
Dari Umayyah ibn Abdillah ibn Khalid ibn Usaid, ia berkata:
“Rasulullah pernah meminta kemenangan dengan (bantuan) orang-orang melarat
dari kaum Muhajirin.” (Diriwayatkan Ath
Thabrani dalam Al Kabir 1/269 dan disebutkan oleh At Tabrizi dalam Misykatul
Mashabih 5247 dan Al Qurthubi dalam Tafsir-nya 2/26; Dalam Al
Isti’ab 1/38, Ibnu Abdil Barr berkata, “Menurutku tidaklah benar kalau
Umayyah ibn Abdillah adalah seorang sahabat Nabi, sehingga hadits di atas
adalah hadits yang mursal.” Al Hafizh dalam Al Ishobah 1/133
berkata, “Umayyah bukanlah sahabat Nabi dan tidak memiliki riwayat yang
kuat.” Al Albani dalam At Tawassul hal. 111 mengatakan, “Pokok
permasalahan dalam hadits tersebut adalah status Umayyah. Tidak terbukti bahwa
beliau adalah salah seorang sahabat, sehingga status hadits tersebut adalah
hadits mursal dha’if.”)
Al Allamah Al Albani berkata, “Hadits ini dha’if sehingga tidak
dapat digunakan sebagai hujjah.” Kemudian beliau berkata, “Seandainya
hadits ini shahih, maka hadits ini semakna dengan hadits Umar, yaitu Umar
meminta hujan dengan perantaraan doa Al Abbas, paman Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan hadits orang buta (seorang lelaki buta yang meminta kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendoakannya kepada Allah agar
penglihatannya dikembalikan), yaitu bertawassul dengan doa orang shalih (yang
masih hidup-pent).” (At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal 112).
Al Munawi berkata dalam Faidlul Qadir (5/219), “(Rasulullah)
pernah meminta kemenangan maksudnya meminta kemenangan dalam peperangan
sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Jika kalian (orang-orang musyrikin) meminta kemenangan, maka telah datang
kemenangan kepadamu.” (QS. Al Anfaal: 19)
Az Zamakhsyari mengatakan yang dimaksud dengan “meminta bantuan”, yakni
meminta kemenangan dengan orang-orang melarat dari kaum Muhajirin, yaitu dengan
doa kaum fakir yang tidak memiliki harta dari kalangan Muhajirin.
Hadits Ketujuh
Dari Abdullah ibn Mas’ud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau berkata,
“Hidupku baik bagi kalian, kalian bisa menyampaikan hadits dan akan ada
hadits yang disampaikan dari kalian. Dan kematianku adalah kebaikan bagi
kalian, amal-amal kalian akan dihadapkan kepadaku, jika aku melihat kebaikan
aku memuji Allah karenanya dan jika aku melihat keburukan, aku akan memohon
ampun kepada Allah bagi kalian.” (Diriwayatkan oleh An
Nasa’i 1/189, Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 3/81/2, Abu Nu’aim dalam
Akhbaru Ashbahan 2/205 dan Ibnu Asakir 9/189/2 dan Al Albani telah
melemahkan hadits ini dalam Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wal Maudhu’at
2/404).
Al Allamah Al Albani berkata, sesudah menyebutkan beberapa
perkataan ulama tentang hadits ini, “Kesimpulannya, bahwa hadits ini dha’if
dengan seluruh jalur periwayatannya, dan yang paling baik dari semua jalur
tersebut adalah hadits mursal dari Bakr bin Abdil Muththallib Al Muzani, dan
hadits mursal termasuk kategori hadits dha’if menurut para muhaddits. Adapun
hadits dari Ibnu Mas’ud maka hadits itu khotho’ (salah), dan yang terburuk dari
beberapa jalan jalur periwayatan hadits ini adalah hadits Anas dengan dua jalur
periwatannya.” (Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wal Maudlu’at
2/404-406).
( 2.) ATSAR-ATSAR DO’IF DAN PALSU SEPUTAR TAWASSUL
DAN TABARRUK
Atsar Pertama
عن ملك الدار- و كان خازن
عمر- قال: أصاب الناس قحط في زمن عمر, فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه و سلم
فقال: با رسول الله استسق لإمتك فإنهم قد هلكوا, فأتى الرجل في المنام, فقيل له :
ائت عمر ….الأثر
Dari Malik Ad Dar -beliau adalah bendahara Umar- dia berkata, “Pada zaman
pemerintahan Umar manusia ditimpa kemarau, maka seorang lelaki mendatangi
kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata, “Wahai Rasulullah,
mohonlah kepada Allah untuk menurunkan hujan pada umatmu, karena sesungguhnya
mereka telah binasa”, kemudian orang tersebut bermimpi dan dikatakan kepadanya:
“Pergilah ke Umar……” (Disebutkan oleh Al
Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 2/397. Al Allamah Al Albani
berkata dalam At Tawassul hal. 131, Atsar ini dha’if dikarenakan Malik
Ad Daar itu majhul).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata (Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal
Wasilah hal. 19-20), “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi
sebelum beliau tidak pernah mensyariatkan untuk berdoa kepada malaikat, para
nabi, dan orang shalih serta meminta syafaat dengan perantaraan mereka, baik
setelah kematian mereka dan juga tatkala mereka gaib (yakni mereka tidak berada
di hadapan kita walaupun masih hidup -pent). Maka seseorang tidak boleh
mengatakan, “Wahai malaikat Allah syafa’atilah aku di sisi Allah, mintalah
kepada Allah agar menolong kami dan memberi rezeki kepada kami atau menunjuki
kami.” Dan demikian pula tidak boleh dia mengatakan kepada para nabi dan orang
shalih yang telah mati, “Wahai nabi Allah, wahai wali Allah, berdoalah kepada
Allah untukku, mintalah kepada Allah agar memaafkanku.” Juga seseorang tidak
boleh mengucapkan, “Aku adukan kepadamu dosa-dosaku atau kekurangan rezekiku
atau penguasaan musuh atasku atau aku adukan kepadamu si Fulan yang telah
menzhalimiku.” Tidak boleh pula dia mengatakan, “Aku adalah tamumu, aku adalah
tetanggamu, atau engkau melindungi setiap orang yang meminta perlindungan
padamu.”
Seseorang tidak boleh menulis (hajatnya -pent) pada lembaran kertas
kemudian menggantungkannya di sisi kuburan, tidak boleh bagi seseorang menulis
di selembar kertas bahwa dia meminta perlindungan kepada si Fulan, kemudian
membawa tulisan tersebut ke orang yang melakukannya dan begitu pula
amalan-amalan semisal itu yang dilakukan ahli bid’ah dari kalangan ahlil kitab
dan kaum muslimin, seperti yang dilakukan orang Nasrani di dalam gereja mereka
dan seperti yang dilakukan ahlu bid’ah di sisi kuburan para nabi dan orang salih.
Inilah perkara-perkara yang diketahui secara pasti merupakan bagian dari
agama Islam, dan dengan penukilan yang mutawatir dan ijma’ kaum muslimin bahwa
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkan hal ini
kepada umatnya, dan demikian pula para nabi sebelum beliau tidak pernah
mensyariatkan sedikit pun dari hal tersebut. Tidak seorang pun dari sahabat
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik melakukan hal itu, dan tidak seorang pun dari para imam kaum
muslimin yang menganjurkan hal tersebut, baik keempat imam mazhab dan (para
imam) selain mereka. Tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan bahwa
dianjurkan bagi seseorang dalam manasik hajinya untuk meminta kepada nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam di sisi kuburan beliau agar mensyafa’atinya atau
mendoakan umatnya atau mengadu kepada beliau tentang musibah dunia dan agama
yang menimpa umatnya.
Para sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditimpa
berbagai macam musibah setelah beliau wafat, terkadang dengan kemarau yang
panjang, terkadang dengan kekurangan rezeki, ketakutan dan kuatnya musuh dan
terkadang dengan dosa dan kemaksiatan. Tidak seorang pun dari mereka mendatangi
kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga kuburan Al
Khalil dan para nabi dan kemudian berkata, “Kami mengadu kepadamu (atas) kemarau pada saat ini,
atau kuatnya musuh.” agar beliau menolong mereka atau mengampuni mereka.
Bahkan hal ini dan yang serupa dengannya merupakan perkara bid’ah yang
diada-adakan yang tidak pernah dianjurkan oleh para imam kaum muslimin. Dan hal
tersebut bukanlah suatu kewajiban dan bukan pula suatu perkara yang dianjurkan
menurut ijma’ kaum muslimin.
Atsar Kedua
عن أبي الجوزاء أوس بن عبد
الله, قال: فحط أهل المدينة قحطا شديدا, فشكو إلى عائشة, فقالت: انظروا إلى قبر
النبي صلى الله عليه و سلم فاجعلوا منه كوا إلى السماء, حتى لا يكون بينه و بين
السماء سقف. قالوا : فافعلوا, فمطرنا مطرا حتى نبت العشب, و سمنت الإبل, حتى تفتقت من الشحم,
فسمى عام الفتق
Dari Abul Jauza’ Aus bin Abdillah, dia berkata, “Penduduk Madinah pernah
mengalami kemarau yang sangat dahsyat, kemudian mereka mengadu kepada Aisyah,
maka dia berkata: “Pergilah ke kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kemudian buatlah lubang yang menghadap ke langit sehingga antara kubur dan
langit tidak terhalang oleh atap.” Mereka berkata, “Mari kita melakukannya.”
Maka hujan lebat mengguyur kami, sehingga rumput tumbuh lebat dan unta-unta
menjadi gemuk dan menghasilkan lemak. Maka saat itu disebut Tahun Limpahan.” (Dikeluarkan oleh Ad Darimi (1/56) nomor 92. Al Allamah Al Albani
berkata dalam At Tawassul hal 139: “Dan (atsar) ini sanad(nya) dha’if
tidak dapat digunakan sebagai hujjah dikarenakan tiga alasan…” kemudian
beliau menyebutkan alasan tersebut, maka merujuklah kesana).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata (Lihat Ar Radd alal Bakri hal
68-74), “Dan riwayat dari Aisyah radhiallahu anha tentang membuka lubang
kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke arah langit agar hujan turun
tidak shahih dan tidak sah sanadnya. Di antara yang menjelaskan kedustaan atsar
ini adalah bahwa selama Aisyah hidup rumah tersebut tidak memiliki lubang,
bahkan keadaannya tetap seperti pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, yakni sebagiannya diberi atap dan sebagian yang lain terbuka, sehingga
sinar matahari masuk ke dalam rumah, sebagaimana riwayat yang ada dalam
Shahihain dari Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam sedang
melakukan shalat Ashar dan sinar matahari masuk ke kamar beliau, sehingga tidak
nampak bayangan (Dikeluarkan oleh Bukhari nomor 521 dan Muslim nomor 611).
Kamar tersebut tidak berubah hingga Walid bin Abdil Malik menambahkan
kamar-kamar itu di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sejak saat itu
kamar Nabi masuk ke dalam masjid. Kemudian di sekitar kamar Aisyah -yang di
dalamnya terletak kuburan Nabi shallallahu alaihi wa sallam- dibangun tembok
yang tinggi, dan sesudah itu dibuatlah lubang sebagai jalan bagi orang yang
turun apabila ingin membersihkan.”
Adapun adanya lubang saat Aisyah hidup, maka itu adalah kedustaan yang
nyata. Seandainya benar, maka hal itu akan menjadi hujjah dan dalil bahwa
orang-orang tersebut tidaklah berdoa kepada Allah dengan perantaraan makhluk,
tidak bertawassul dengan mayat di dalam doa mereka, serta mereka tidak pula
memohon kepada Allah dengan (perantaraan) orang yang sudah mati. Mereka
hanyalah membukanya agar rahmat diturunkan kepadanya, dan di sana tidak
terdapat doa memohon kepada Allah dengan perantaraannya (kubur atau mayat yang
ada di kubur tersebut, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
-pent).
Bandingkan betapa beda 2 hal tersebut? Sesungguhnya makhluk hanya bisa
memberikan manfaat kepada orang lain melalui doa dan amal shalihnya, oleh
karenanya Allah senang jika seseorang bertawasul kepada-Nya dengan iman, amal
shalih, shalawat dan salam kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam,
serta mencintai, menaati dan setia kepada beliau. Maka inilah perkara-perkara
yang dicintai Allah agar kita bertawasul kepada-Nya dengan perkara-perkara
tersebut.
Atsar Ketiga
عن علي بن ميمون, قال: سمعت
الشفعي يقول: إني لأتبرك بأبي حنيفة, و أجيء إلى قبره في كل يوم-يعني زائرا- فإذا
عرضت لي حاجة صليت ركعتين, و جئت إلى قبره, وسألت الله تعالى الحاجة عنده, فما
تبعده عني حتى تقضى
Dari Ali bin Maimun, dia berkata, Aku mendengar Asy Syafi’i (Imam Syafi’i
-pent) berkata, “Sungguh aku akan bertabarruk dengan Abu Hanifah, dan aku
mendatangi kuburnya di setiap hari -yakni beliau berziarah ke kuburnya-. Maka
jika aku memiliki hajat, aku melakukan shalat dua raka’at dan aku mendatangi
kuburannya kemudian aku memohon kepada Allah ta’ala agar mengabulkan hajatku di
samping kuburannya, dan tak lama berselang hajatku pun terkabul.” Hikayat
ini diriwayatkan oleh Al Khatib Al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (1/123)
dari jalur Umar bin Ishaq bin Ibrahim, dia berkata: “Ali bin Maimun
memberitakan kepada kami, dia berkata, ‘Aku mendengar Asy Syafi’i mengatakan
hal itu.’” (yakni riwayat di atas -pent).
Al ‘Allamah Al Albani berkata dalam Silsilah Ahadits Adhdha’ifah
wa Al Maudhu’at 1/31: “Riwayat ini dha’if bahkan (riwayat yang) bathil.”
Ibnul Qoyyim berkata dalam Ighatsatul Lahfan 1/246, “Hikayat
yang dinukil dari Imam Syafi’i -bahwa beliau berdoa di samping kuburan Abu
Hanifah- merupakan suatu kedustaan yang nyata.”
Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata dalam Silsilah
Ahadits Adhdha’ifah wa Al Maudhu’at (1/31) hadits nomor 22, “Riwayat ini
dha’if (lemah), bahkan bathil. Karena sesungguhnya Umar bin Ishaq bin Ibrahim
tidak dikenal, dan tidak pernah disebut dalam kitab-kitab yang membahas tentang
perawi hadits sedikit pun. Jika yang dimaksud Umar bin Ishaq adalah Amru bin
Ishaq bin Ibrahim bin Hamid As Sakan Abu Muhammad At Tunisi, maka Al Khatib
telah menyebutkan biografinya dan menyebutkan bahwasanya dia adalah penduduk
Bukhara yang mendatangi Baghdad tahun 341 Hijriah dalam rangka hendak berhaji,
dan beliau (Al Khatib) tidak menyebutkan jarh (celaan) dan ta’dil (rekomendasi)
atas orang ini dalam kitabnya, maka orang ini statusnya majhul hal. Mustahil
jika yang dimaksudkan adalah orang ini, karena Syaikhnya yakni Ali bin Maimun
wafat pada tahun 247 Hijriah -berdasarkan pendapat yang paling jauh-, sehingga
kematian keduanya berjarak sekitar 100 tahun, maka mustahil dia menjumpai
Syaikhnya tersebut. Kesimpulannya, riwayat ini dha’if dan tidak ada bukti yang
menunjukkan keshahihannya.”
Penutup
Setelah engkau mengetahui sejumlah hadits, atsar dan kisah yang dha’if,
palsu dan dusta tentang tawassul bid’ah yang dilakukan oleh ahlul bid’ah dan
orang sesat. Maka waspadalah wahai kaum muslimin dan jangan terperdaya oleh
kebohongan-kebohongan semacam ini! Bertawakallah kepada Zat Yang Maha Hidup dan
tidak mati, sesungguhnya Dia berfirman,
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaq: 3)
Janganlah engkau menyeru dan berlindung melainkan kepada Allah semata.
Janganlah engkau meminta bantuan dan pertolongan melainkan kepada Allah
semata.
Janganlah engkau beribadah (berdoa) kepada sesuatu pun di samping
beribadah (berdoa) kepada Allah.
Saudaraku, jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau meminta
pertolongan, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya seluruh umat
berkumpul untuk memberi manfaat atau mudharat kepadamu, maka mereka tidak dapat
memberi manfaat dan mudharat kepadamu, melainkan yang telah Allah tetapkan
untuk dirimu.
Mohonlah kepada Allah untuk memberikan taufik kepadamu dan menjaga hatimu
agar engkau termasuk orang-orang yang bertawassul kepada-Nya dengan tawassul
yang syar’i bukan dengan tawassul yang bid’ah. Dan mohonlah kepada Allah ta’ala
untuk mengampuni dosa-dosamu dan menyelamatkanmu dari azab api neraka yang
merupakan seburuk-buruk tempat kembali. Hanya Allah-lah Pemberi Taufik dan
Penunjuk kepada jalan yang lurus.
Dikumpulkan dan disusun:
Abu Humaid Abdullah ibn Humaid Al Falasi
Semoga Allah memaafkan dan mengampuninya, orang tuanya dan seluruh kaum
muslimin dan muslimat.
Maraji’:
1.
At Tawassul Anwa’uhu wa
Ahkamuhu karya Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah-dengan
diringkas.
2.
At Tawassul Hukmuhu wa
Aqsamuhu-dikumpulkan dan disusun oleh Abu Anas Ali ibn Husain Abu Luz-dengan
diringkas.
3.
Muqaddimah diambil dari tulisan yang disebarluaskan di situs internet.
***
Oleh: Abu Humaid Abdullah ibnu Humaid Al Fallasi
Diterjemahkan secara bebas oleh: Abu Umair Muhammad Al Makasari (Alumni Ma’had Ilmi)
Murajaah: Ust. Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Diterjemahkan secara bebas oleh: Abu Umair Muhammad Al Makasari (Alumni Ma’had Ilmi)
Murajaah: Ust. Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar